Eksklusif, Ody Mulya Hidayat: Jatuh Bangun Cintai Film Indonesia

Puput Puji Lestari diperbarui 13 Okt 2015, 08:01 WIB

Fimela.com, Jakarta Membesarkan dan mempertahankan rumah produksi agar tetap menghasilkan karya film dalam waktu yang lama tentu bukan perkara mudah. Hal itu dirasakan benar oleh Ody Mulya Hidayat, produser Maxima Pictures. Jatuh bangun memproduksi film selama 11 tahun tak menyurutkan semangat Ody untuk menghasilkan karya baru yang menarik dan berbeda.

Tak ada rumus yang pasti untuk mendapat penonton yang banyak dari setiap film yang diproduserinya. Tapi Ody tak mau menyerah, kegagalan demi kegagalan yang dirasakannya menjadi ‘guru’ untuk tahu apa yang penonton mau. Ketika banyak filmnya berhasil, tentu itu adalah buah kerja kerasnya bersama tim yang solid.

Bersama dengan Yeon K dan Sudiadi, Maxima Pictures didirikan pada 9 Desember 2004. Maxima Pictures merilis film pertamanya, Cinta Pertama, pada tahun 2006. Sejak itu, lebih dari 50 film dengan berbagai genre telah dirilis. Artinya setiap tahun maxima rata-rata menghasilkan 5 film. Ini bukan jumlah yang sedikit tentunya.

Setiap tahun film-film yang diproduksi Maxima selalu ada yang masuk dalam daftar 10 besar box office Indonesia. Bahkan pada tahun 2010, lima dari sepuluh film terlaris merupakan produksi Maxima Pictures. Film masterpiece Maxima Pictures sangat variatif dari genre horor hingga religi. Artinya, Maxima terus bergerak mengikuti selera penonton. Daftar film terbaik Maxima Pictures antara lain Air Terjun Pengantin, Tapi Pocong Perawan, 99 Cahaya di Langit Eropa dan Assalamualaikum Beijing.

Cinta pada film telah mengantarkan Ody Mulya Hidayat menjadi salah satu produser terkemuka di Indonesia. Hobinya menonton membuatnya tahu persis apa yang dimau oleh penonton. Lesunya penonton tak membuatnya patah semangat sebagai sineas. Justru hal tersebut menjadi pelecut untuk mencari formula baru menggaet penonton.

Kepada Bintang.com, Ody menceritakan pahit manis berjuang di perfilman Indonesia. Mencari cara agar filmnya selalu dilirik oleh penonton. Bagaimana caranya? Berikut uraian jawaban Ody yang disampaikan kepada tim Bintang.com: Puput Puji Lestari, Hasan Mukti Iskandar, Deki Prayoga, dan Nurwahyunan di Wakaii, Senayan City, 9 September 2015.

Sejak kapan menyukai film?
Sejak saya remaja seingat saya. Saya suka sekali nonton film di Ancol. Sudah lama sekali. Kemudian saya ada bayangan membuat film yang bagus. Karena suka membayangkan kenapa gak bikin aja film. Ketemu dan investor yang maka jalanlah Maxima Pictures.

Sulit nggak membuat film?
Nggak, membuat film itu nggak sulit. Yang sulit adalah membuat film laku. Kita tidak bisa tahu formulanya bagaimana. Tidak ada riset yang membuktikan bahwa film ini akan laku di Indonesia.

Bagaimana Anda mengatasi persoalan sulit itu?
Saya mencoba membuat sesutu yang berbeda. Saya tidak mau menjadi follower. Bagaimana melahirkan hal baru. Bukan pengulangan atau menyadur film yang sudah ada. Harus fresh. Harus berganti ide. Ini yang membuat penonton menunggu karya kita.

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Jatuh Bangun Mempertahankan Maxima Pictures

Ody Mulya Hidayat. (Deki Prayoga/Bintang.com)

Anda pernah gagal?

Hasil memang tidak selalu menggembirakan tapi tidak masalah. Dari hasil itu kita bisa membca apa yang dibutuhkan oleh penonton. Saya juga pernah jatuh bangun. Saya pernah stuck beberapa bulan karena harus berganti manajemen. Seteah stuck saya membuat film yang lebih menginspirasi.

Bagaimana rasanya di posisi gagal?

Saya pernah jatuh dan orang-orang mengganggap Maxima pernah mati dan bangkit lagi. Ketika saya jatuh ada yang menertawakan saya dan menyemangati saya. Itu dinamika dan tantangan membuat saya ingin memotivasi agar terus memberi yang terbaik bagi penonton. Setiap saat saya harus menggali sumber materi yang berbeda.

Apa yang memotivasi Anda?

Saya untungnya tidak terlalu banyak gagal, dari 10 film dua yang gagal. Ada memang yang benar-benar gagal, tapi saya sudah meminimalisir kegagalan. Belajar dari kegagalan itu. Jatuh bangun itu sudah biasa. Setelah film saya tayang, saya menganalisa, kalau gagal apa yang bikin saya gagal. Harus lebih inovatif sehingga penonton tidak bosan dengan konten yang itu-itu saja.

Baca Juga: Film 'Assalamualaikum Beijing' Diputar di Okinawa, Jepang

Penonton film Indonesia terus merosot, apa yang salah?

Kekecewaan penonton yang terus menerus itu yang membuat penonton jenuh. Kita sudah di tahap yang bahaya karena bisa kehilangan kepercayaan penonton Indonesia. Mereka mulai tidak percaya pada film nasional. Setiap nonton kecewa, pulang tidak puas, dan merasa tidak membawa apa-apa. Akhirnya mereka tidak mau lagi nonton film Indonesia karena tidak percaya.

Solusi dari Anda?

Saya membat film yang kalau penonton pulang ada yang dibicarakan. Teman-teman suka ributin penonton yang jatuh. Tapi kenapa hanya melihat 70 persen film yang gagal? Ada 30 persen yang berhasil, inilah yang perlu saya perhatikan.

Tugas produser?

Bagaimana meningkatkan film yang berkuatias untuk mengembalikan kepercayaan penonton pada perfilman Indonesia, setiap produser punya cara sendiri. Film bukan perang politik, film itu perang kreatifitas. Membuat yang lebih baik dengan inovasi. Jangan dipolitisasi perfilman Indonesia. Jangan mencari hidup dari perfilman Indonesia, ini adalah industri hidupkanlah perfilman Indonesia.

Orang beranggapan Produser hanya sekedar orang yang punya uang untuk membuat film?

Jadi produser memang harus punya uang. Tapi bukan segalanya. Sampai sekuat apa uangnya kalau memang cuma mengandalkan uang? Film butuh kreatifitas. Kalau cuma punya uang nggak kreatif, kemudian nggak laku mau sampai berapa lama tahan rugi?

Jadi tugas produser?

Produser bukan hanya orang yang pakai jas rapi terus ongkang-ongkang kaki. Bagi saya produser harus mengontrol dari awal sampai akhir. Kita harus turun tangan dan ke lapangan melihat sesuatu yang terjadi. Kalau mau aman ya harus dihitung dari besar sampai kecil. Kegitu Anda mendelegasikan kepada orang yang salah, ya selesai. Seumur-umur arsa menyesal yag akan dirasa. Kalau mau gambling silahkan, saya tidak begitu. Produser harus mengontrol detail.

Keseriusan produser juga berdampak pada pendapatan jumlah penonton?

Potensi perfilman nasional kita menyadari hukum alam. Film yang cuma didesain dengan sesuatu yang biasa nggak bisa lagi naik. Film menciptakan yang sederhana tapi menciptakan sesuatu yang menarik. Kalau film mau besar harus didesain dengan dana besar juga.

3 dari 3 halaman

Kuasai Genre Horor Hingga Religi

Ody Mulya Hidayat. (Nurwahyunan/Bintang.com)

Maxima Pictures bisa dibilang cepat menguasai semua genre film?

Industri ini harus cepat, blue print ini yang susah. Harus rajin dan lebih cepat menanggapi isu di luar yang sedang berkembang. Kadang teman-teman heran saya dapat aja, produser harus jeli. Masing-masing punya kemampuan yang berbeda.

Anda mengandalkan novel laris?

Novel laris punya keuntungan tersendiri. Kita sudah da cerita kuat, pembaca yang potensial jadi penonton, dan orang sudah tahu tentang buku itu. Tapi tidak semua novel bisa difilmkan dengan mudah.

Sulitnya seperti apa?

Salah skrip, eksekusi yang salah, bisa gagal. Novel bagus kemudian flop juga banyak. Eksekusi yang kurang tepat membuat gagal. Apa yang di naskah tidak harus sama persis dengan novel. Harus dirombak. Misalnya novel menceritakan kesuksesan di luar negeri, kenapa nggak diceritakan juga kisahnya selama di dalam negeri. Disinilah kreativitas menjadi penentu keberhasilan film.

Hal penting apa yang harus diperhatikan dalam memilih novel?

Inspirasi dari novel yang bisa filmkan dan cocok untuk orang di Indonesia. Tergantung imajinasinya sukses dan menarik.

Tren menfilmkan novel religi apakah akan selalu berhasil?

Tidak ada yang bisa menjamin. Saya bikin film 99 Cahaya di Langit Eropa misalnya. Itu film besar dengan badjet besar. Ada juga film yang sederhana saya buat tapi unik juga laku di pasaran. Tapi hasilnya tidak mungkin sama. Semua harus diperhitungkan. Biaya promo hampir menyamai biaya produksi. Keberhasilan itu banyak faktor yang mempengaruhi.

Film Assalamualaikum Beijing juga diputar festival luar negeri, artinya religi memang diminati?

Saya yakin kita bisa menyamai bollywood atau hollywood. Asal kita bersatu. Produser, pemain, dan tim produksi harus solid. Semua bekerja bersama. Sekarang saya mempersiapkan Bulan Terbelah di Langit Amerika dengan totalitas juga. 

Masih terus berburu novel religi?

Jujur kalau saya bikin film a-z saya lakukan. Saya rajin ke toko buku. Saya kalau nemu buku bagus saya kejar. Kita harus cerdas dan cerdik menyiasati. Kita ambil novel juga tidak harus religi. Mengikuti tren yang dibicarakan masyarakat.

Sekarang banyak syuting di luar negeri?

Itu ada dua pertimbangan. Pertama syuting di dalam negeri terus terang perizinan sulit dan mahal. Untuk syuting di stasiun Jakarta Kota yang kotor itu butuh ratusan juta izinnya. Mending saya ke luar negeri dengan badjet yang sama tapi bisa memberi pengalaman yang berbeda kepada penonton film saya.

Negara mana saja yang menarik?

Syuting di luar negeri banyak yang menarik. China lebih menarik belum banyak orang yang tahu ide tradisionalnya. Film maker Indonesia belum banyak yang ke sana. Menarik dan biayanya tidak besar. Di Eropa juga menarik, landscape cantik. Turki banyak museum sejarah yang belum di ungkap. Paris orang lebih banyak yang mengandalkan Menara Eifel. Padahal di timur Paris ada kebun anggur yang asyik banget. Murah meriah. Nggak mahal, perizinan nggak sulit. Living cost dan transportasi yang mahal.

Yang belum pernah dan ingin dikunjungi untuk syuting?

Belanda yang belum pernah saya kunjungi. Setiap negera ada yang menarik. Memang transportasi melelahkan, tapi akan terobati dengan pemandangan yang luar biasa.


Pengalaman adalah guru yang terbaik. Kiranya itulah yang membuat Ody Mulya Hidayat memahami benar bagaimana mensisati lesunya penonton film Indonesia. Dedikasi tinggi membuatnya sanggup membangkitkan Maxima Pictures yang sempat mati suri. Berjaya untuk penonton film Indonesia.

Baca Juga: Abimana Aryasatya Sempat Tolak 'Bulan Terbelah di Langit Amerika'