Fimela.com, Jakarta Sabda Raja Yogyakarta atau titah atau perintah yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X berisikan poin-poin penting yang harus dipatuhi semua orang di daerah istimewa itu. Tak terkecuali kalangan istana.
Namun ada beberapa yang dengan tegas menolak Sabda Raja ini. Masyarakat hingga membuat kegiatan yang menunjukkan jika mereka tak setuju dengan perintah Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Siapa saja dan bagaimana cara mereka menolak Sabda Raja Yogyakarta itu? Yuk, simak ulasan Bintang.com dari berbagai sumber.
Gusti Bendara Pangeran Harya (GBPH) Yudhaningrat
GBPH Yudhaningrat atau biasa disapa Gusti Yudha yang paling keras mengecam Sabda Raja Sri Sultan Hamengku Buwono X. Menurutnya titah itu bernuansa politik dan membuka jalan bagi putri-putri Sri Sultan untuk menguasai Yogyakarta.
GBPH Prabukusumo dan GBPH Hadi Winoto
Meski tidak terang-terangan menolak namun Gusti Prabu enggan untuk menghadiri acara Sabda Raja Yogyakarta ini.
Begitu pula Gusti Hadi (berbaju kuning), dia hanya mengatakan dalam perjalanan tapi tidak nampak batang hidungnya hingga selesai acara.
Abdi Dalem Mas Wedana Nitikarya
Seorang abdi dalem dengan gelar Mas Wedana Nitikarya melancarkan protes atas Sabda Raja dengan cara mengundurkan diri dari tugasnya. Dia menyerahkan kembali kekancingan sebagai tanda abdi dalem.
Menurutnya kalau sudah tidak ada lagi gelar Khalifatullah maka tidak ada lagi raja atau imam atau pemimpin.
Protes Tapa Pepe
Tapa Pepe atau bermakna protes bakal dilancarkan oleh sejumlah elemen masyarakat yang selama ini setia pada kerajaan Yogyakarta. Mereka mempertanyakan maksud dan tujuan Sabda Raja yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Tapa Pepe bakal dilaksanakan pekan depan dan melibatkan 60 elemen. Kegiatan ini dipusatkan di Alun-alun Utara, depan kompleks keraton. Tapa Pepe ini dinilai usaha terakhir untuk menyikapi Sabda Raja yang mulai mengkhawatirkan.
Tapa Pepe bukanlah aksi melawan raja namun lebih menginginkan berdialog langsung dan mempertanyakan Sabda Raja.
Loyalitas elemen masyarakat ini untuk budaya keraton Yogyakarta yang terjaga dan bukan untuk menghormati pribadi-pribadi di dalamnya. Raja dan kerajaan tidak akan ada tanpa rakyat.