[Eksklusif] Rio Dewanto: Film Indonesia Masih Belum Didukung

Edy Suherli diperbarui 31 Mar 2015, 08:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Setiap tanggal 30 Maret insan film memperingati hari Film Nasional. Upaya menjadikan film Nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri masih jauh panggang dari apa. Dalam pengamatan Rio Dewanto film Indonesia belum sepenuhnya didukung.


Sebagai pelaku industri film, suami Atiqah Hasiholan ini tak mau menyalahkan siapa pun atas keadaan ini. Dia lebih senang mengajak semua pihak, mulai dari pemerintah, produser, pemain, sutradara, crew film, penonton, yang terlibat dalam industri film introspeksi. “Dalam situasi seperti sekarang ini, tak ada gunanya menyalahkan. Mari semua pihak introspeski diri. Saya yakin kalau semua sudah introspeksi akan ada perubahan kok,” kata Rio Dewanto kepada Edy Suherli dari bintang.com yang mengubunginya Senin (30/3/2015).

Pria yang mengawali debutnya di film Pintu Terlarang ini optimis kalau film Indonesia bisa bangkit seperti era keemasan film di tahun 1970-an hingga 1980-an. Cuma memang ada beberapa catatan yang harus digaris bawahi. Inilah kutipan wawancara selengkapnya.

What's On Fimela
2 dari 4 halaman

1

Rio Dewanto (Foto: Galih W. Satria/Bintang.com)

Tak Hanya Film Semua Lini Kita Diserang


Insan film kembali memperingati Hari Film Nasional, apa yang ingin Anda kemukan di hari yang spesial ini?


Sejauh ini hari film memang diperingati, namun yang saya lihat masih sebatas seremonial. Yang paling penting untuk momen sepenting ini adalah introspeksi. Siapa saja yang instrospeksi ya semua pihak yang terlibat dalam industri film kita.

Film Indonesia pernah berjaya, kemudian mati suri dan sekarang bangkit lagi bagaimana Anda melihat fenomena ini?

Waduh kalau jaman keemasan film Indonesia sepertinya saya belum lahir tu, hehehe. Tetapi yang saya ketahui era itu memang film Indonesia berada pada puncak keemasannya. Namun setelah itu produksi film Indonesia seperti mati suri. Kira-kira sepuluh tahun terakhir produksi film Indonesia kembali menggeliat. Film-film nasional mulai meramaikan bioskop-bioskop kita. Namun domnasi film asing memang masih tetap terjadi. Sebagai insan film saya ikut senang ikut terlibat beberapa film. Ada enam film saya yang sudah dan akan tayang dalam waktu dekat ini. Yaitu Coboy Junior The Movie, Love & Faith, 2014, Filosofi Kopi, Bulan di Atas Kuburan, dan Cinta Selamanya.

Biacara soal film asing memang bukan hal mudah?

Memang, dan era sekarang ini semua sisi dan lini kita diserang. Kalau dulu kita dijajah sekarang kita juga dijajah namun dalam bentuk lain. Liberalisasi dan kapitalisme yang terjadi di dunia ini membuat semua produk masuk ke Indonesia, termasuk film. Serangan produk asing yang begitu gencar itu membuat industru dalam negeri tertekan. Ini memang susah bagi kita semua. Fill produksi dalam negeri memang sudah lumayan banyak, namun saat harus berhadapan dengan film-film dari Hollywood, yang film kita kalah.

 

3 dari 4 halaman

2

Rio Dewanto (Foto: Galih W. Satria/Bintang.com)

Rio Dewanto Iri dengan Sineas Korea


Dalam kondisi seperti ini bagaimana peran pemerintah menurut Anda?


Saya sebenarnya iri dengan sineas-sineas di Korea yang banyak mendapat kemudahan saat akan menggunakaan fasilitas umum atau gedung pemerintah untuk syuting film. Begitu juga dengan di Amerika. Mereka Cuma mengajukan surat izin untuk menggunakan lokasi tertentu kemudian bisa dilakukan syuting. Dan itu tanpa dipungut biaya lho. Di tempat kita keadaannya terbalik. Kita masih sulit sekali mendapat izin untuk syuting. Belum lagi harus mengeluarkan sejumlah biaya tertentu untuk pemakaian lokasi.

Artinya pemerintah kita belum support?


Artikan saja sendiri. Padahal film ini amat strategis perannya. Lewat film pemerintah bisa mempromosikan berbagai destinasi wisata. Pengajaran sejarah juga bisa dilakukan lewat film. Saya enggak tahu apa yang salah. Sekali lagi saya tidak mau menyalahkan, mari kita introspeksi diri.

 

Pemerintah melalui Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya pernah mengundang sineas asing untuk menjadikan Indonesia sebagai lokasi syuting film mereka, komentar Anda?


Ini yang ironis. Beberapa film asing memang sudah syuting di Bali dan beberapa lokasi lainnya. Di satu sisi pemerintah mengundang sineas asing untuk datang dan menjadikan Indonesia sebagai lolasi syuting film. Namun sineas lokal yang syuting di sini malah masih mengalami kesulitan. Semoga ke depan hal ini tidak akan terjadi lagi. Kalau sineas asing mendapat kemudahan, mengapa sineas lokal tidak mendapatkan hal yang sama.

Bagaimana Anda melihat penonton kita?


Sekarang ini produksi film sudah terus meningkat, namun penonton kita masih lebih tertarik pada film asing. Ya susah juga kalau kondisinya seperti ini terus. Semangat orang untuk memproduksi film bisa menurun lagi kalau setiap film yang diproduksi penontonnya cuma ala kadarnya. Bukin film itu enggak murah lho. Meski saya cuma sebagai pemain sedikit-sedikit saya tahulah berapa biaya produksi sebuah film.

Apa karena kualitas film kita belum seperti yang diharapkan?


Soal kualitas memang sulit ya. Tetapi kita harus jujur ada film yang bagus dan ada yang dibuat apa adanya. Kalau sudah seperti ini pilihannya ada pada penonton. Sebelum menjatuhkan pilihan untuk menonton film penoton sudah bisa melihat trailernya di situs seperti www.youtube.com dan sebagainya. Ya untuk film yang cerita dan gambarnya bagus pasti akan ditonton, namun untuk film yang apa adanya ya siap-siap saja untuk diceukin. Saya kira itu konsekwensi logis.

4 dari 4 halaman

3

Rio Dewanto (Foto: Galih W. Satria/Bintang.com)

Optimis Film Indonesia Bisa Bangkit

Anda sendiri optimis tidak produksi film Indonesia akan kembali seperti jaman keemasan di era 1970-an hingga 1980-an?


Harus dong. Cuma optimis saja tidak cukup. Harus ada dukungan dari semua pihak agar film Indonesia bisa berdaya. Pemerintah harus dukung dan penonton juga malu-malu untuk menonton film negeri sendiri. Tanpa itu semua oong kosong film kita bisa berjaya.

Sekarang Anda masih sebagai pemain, apa punya rencana untuk menjadi produser atau sutradara?

Sekarang terus terang saya masih fokus sebagai pemain. Nanti kalau sudah cukup pengalaman mungkin akan terlibat dibalik layar juga. Namun untuk menjadi sutradara saya tidak berminat. Untuk produser saya masih ada ketertarikan.

Kenapa tidak berminat menjadi sutradara?

Hemm (Rio terdiam sejenak, sejurus kemudian ia melanjutkan celotehnya). Saya tahu potensi apa yang saya miliki. Dan menjadi seorang sutradara itu bukan pekerjaan ringan. Memang ada teman yang awalnya pemain namun pelan-pelan berani menjadi sutradara. Kalau ada yang mampu seperti itu silahkan. Namun untuk saya pribadi terus terang tidak mampu. Saya lebih baik fokus sebagai pemain saja. Kalau produser itu boleh, hehehe.

Dari beberapa film yang Anda bintangi sekarang sedang pomosi untuk film apa?


Saat ini saya sedang mempromosikan film terbaru saya, judulnya Filosofi Kopi. Buat saya film ini, terlepas saya sebagai pemain didalamnya ya, cukup berhasil mendiskripsikan apa yang ada di novel ke layar film. Biasanya problem utama memfilmkan novel, adalah kurang ini dan itu. Nah di film ini nyaris semuanya tergambar komplit. Enggak percaya, Ada harus nonton filmnya hehehe.

Anda punya keinginan untuk beradu akting dengan pemain mana baik dari dalam mupun pemain manca negara?


Saya termasuk orang yang enggak muluk-muluk ingin bermain sama siapa. Pokoknya apa yang ada di hadapan saya saya jalani. Jadi mengalir saja deh.

Ada target untuk meraih penghargaan seperti dalam FFI atau festival tertentu?


Tugas saya sebagai aktor adalah bermain sebagi mungkin. Saya tidak ada motivasi untuk meraih penghargaan ini atau itu. Soalnya ketika kita sudah bermain bagus, pasti akan ada benefitnya buat saya. Yang paling simpel penontoon akan suka. Kalau ada akting saya itu mendapat apresiasi yang syukur. Itu namanya bonus. Terakhir saya masuk nominasi IMA 2012 untuk Aktor Pembantu untuk film Arisan! 2 dan nominasi Aktor Utamaa Terbaik juga di IMA 2012 untuk film Modus Anomali. Saya juga masuk nominasi FFI 2012 untuk Aktor Pendukung (film Garuda di Dadaku 2).